Oleh:
Iis Sugiarti
Sebuah Realitas
Berbicara
tentang sastra sama saja kita berbicara tentang kehidupan itu sendiri. Sebab
karya sastra terbangun oleh realitas. Realitas yang dikristalisasikan dalam
bentuk tulisan dengan cara penyampaian persepsi yang berbeda, serta menimbang
dimensi estetika dan pemaknaan yang dalam.
Dengan kata
lain karya sastra tidak dapat dipisahkan oleh lingkungan sosial dan yang
melingkupinya. Karena sastrawan atau pencipta karya sastra hidup dilingkungan
masyarakat dan juga sebagai pemilik budaya dan norma-norma. Sehingga membentuk
idealisme bagi dirinya dan berpengaruh terhadap karya sastra yang ditulisnya.
Menurut
Matroni Muserang bahwa mengabaikan realitas merupakan kesalahan penyair. Kesalahan esensial dan aksidental. Pertama
meniru-niru hal yang tidak ada atau yang mungkin ada, kedua meniru sesuai yang
ada tetapi eksistensinya telah diselewengkan kata Ibn Sina.
Dengan kata
lain, sastra tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia. Nilai manfaat yang
diberikan sastra bagi kehidupan manusia adalah nilai yang terkait dengan
“penghayatan hidup”, yaitu nilai yang berhubungan dengan sikap pembinaan
mental, juga berfungsi sebagai kontrol sosial.
Manusia
bersastra menurut gambaran sosial budayanya, maka kita dapat menarik kesimpulan
bahwa manusia yang tinggal di lingkungan pesantren maka akan melahirkan sastra
pesantren.
Mengulik Sastra Pesantren
Sudah sejak
dahulu pesantren mengenalkan sastra kepada santrinya. Banyak kitab-kitab yang
ditulis dalam bentuk nadham dalam menyampaikan value of knowledge
seperti salah satunya yaitu nadham Alfiah dan ‘Imrti karya Ibnu Malik.
Bagaimana beliau menulis ilmu nahwu dalam bentuk nadhaman yang mempunyai nilai
estetika sastra yang tinggi. Bukan saja nadham bahkan kitab-kitab yang lain
yang tersaji dengan dimensi sastra.
Senada
dengan Dimas Indiana Senja, menurutnya pesantren, santri dan sastra pada
dasarnya adalah kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Bahwasanya sastra itu
sendiri berasal dari kata sastri, yaitu
istilah yang berarti mempelajari ilmu agama, atau dengan kata lain, antara
sastra(wan) dan santri(wan) adalah sama-sama berkedudukan sebagai salik yaitu
orang yang dalam perjalanan mencari kebenaran.
Menurut Muhammad Abdullah, syiiran
nasehat atau puisi yang berisi nasehat ditulis oleh Asnawi pada zaman kolonial
Belanda dengan menggunakan bahasa Jawa bertuliskan Arab Pegon dan menggunakan wazn
bahar madid. Puisi dengan model ini dikategorikan sastra pesantren, karena
telah memenuhi ciri-cirinya, yaitu: berbahasa Arab bertuliskan Arab; adakalanya
sastra pesantren itu berbahasa Jawa baru dengan menggunakan tulisan Arab Pegon;
lahir dan berkembang kurang lebih awal abad ke-19 dan berkembang pesat abad 19
sampai abad 20 dan berupa tradisi lisan dan tradisi tulisan yang berisi tentang
tauhid, fikih, ajaran moral atau akhlak, tasawuf, teologi dan karya-karya
syair. Sedikit banyak terpengaruh sastra Timur Tengah, sastra Arab atau sastra
Persi.[iv]
A Teeuw mengatakan bahwa sastra
berasal dari akar sas (Sansakerta) berarti mengarahkan, mengajar, memberi
petunjuk, dan instruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana. Jadi secara leksikal
sastra berarti kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk, atau buku
pengajaran yang baik.[v]
H. A. Mustofa Bisri atau yang lebih akrab dipanggil Gus Mus, salah seorang
penyair senior sekaligus juga sebagai Pengasuh
Pondok Pesantren Raudhatul Thalibien di Rembang, pernah mengatakan
bahwa bersastra itu sudah menjadi tradisi para ulama sejak dulu.
Berkaitan dengan hal tersebut, bahwa
kehidupan sastra di dunia pesantren bukan merupakan barang baru. Dibacakannya Burdah
dan Kasidah Barzanji yang berkisah tentang keagungan Nabi Muhammad SAW merupakan salah satu contoh dari sekian karya
sastra yang ditulis kalangan ulama pada zamannya.
Maka hal tersebut sudah tak bisa
dielakkan lagi bahwa Pesantren sangat dekat sekali dengan dunia sastra. Memang
nadham-nadham yang ditulis para ulama maupun kitab-kitab yang dikaji di
pesantren menggunkan kaidah sastra arab, yang tentunya berbeda dengan konsep
sastra secara Indonesia secara umum. Namun di lihat dari segi pemaknaan atau
esensinya adalah sama dengan penyajian kesusastraan pada umumnya. Hanya berbeda
dalam bentuk bahasa dan konsep pembentukan leksikalnya.
Membentuk Komunitas Sastra
Kebangkitan
sastra pesantren dapat dilihat dengan bermunculannya sastrawan-sastrawan santri
yang menulis karya sastra dengan sungguh-sungguh. Hal itu misalnya bisa kita
lihat pada sejumlah karya yang ditulis oleh penyair Emha Ainun Nadjib, Ahmad
Tohari, D. Zawawi Imron, KH. A. Mustofa Bisri, dan yang lainnya.
Walaupun
sudah banyak pendapat yang mengatakan bahwa pesantren sangatlah dekat dengan
dunia sastra, namun santri yang mempunyai gairah menulis dan bersastra hanya
segelintir saja. Memang tradisi membaca nadham, pembacaan barzanji dan
sebagainya sudah menjadi santapan sehari-hari, namun minat mereka terhadap dunia
kepenulisan sastra agaknya perlu dibangkitkan lagi.
Untuk membangkitkan sastra dalam
sebuah lingkungan pesantren maupun dalan dunia kesusastraan Indonesia
sekalipun membutuhkan usaha kolektif,
karena kita dalam bersastra tak dapat lahir sendiri dari diri kita sendiri,
melainkan ada pengaruh atau dorongan dari luar juga. Kebanyakan gerakan –gerakan dalam upayanya nguri-nguri
sastra adalah dengan membentuk komunitas. Di Indonesia sendiri ada banyak
komunitas sastra yang sudah berdiri, dan melakukan aksi-aksi tertentu dalam
upayanya membudayakan bahasa sastra menjadi bahasa keseharian, dalam upayanya
menyampaikan kritik sosial dan hal-hal yang berkaitan dengan moralitas melalui
puisi, seperti gerakan Puisi Menolak Korupsi (PMK) yang digawangi oleh Sosiawan
Leak. Bahkan penerbitan antologi puisi menolak korupsi telah menjadi sebuah
gerakan nasional dari kalangan sastrawan
yang merasa terpanggil untuk menyelamatkan Indonesia dari bahaya korupsi.
Gerakan ini membuktikan
keseriusannya, maksud saya bukan sekedar menyalakan demam sastra yang sekali
buming langsung redam lalu tenggelam tak terbit lagi . Sosiawan Leak berserta
rekan gerakannya terbilang sangat memegang erat komitmen. Terbukti secara
kontinu beliu berhasil menghimpun puisi menolak korupsi dari penyair-penyair
Indonesia dari berbagai wilayah nusantara, hingga sekarang sudah sampai pada
PMK jilid 5, yang diterbitkan oleh Forum
Sastra Surakarta. Tidak berhenti mendaratnya buku di penerbit saja, namun
dilanjutkan dengan roadshow, baca puisi dan diskusi sastra dari kota ke
kota.
Ataupun Gerakan Komunitas Negeri
Poci, yang merupakan komunitas kawakan di Indonesia. Seperti yang dikatakan
seorang penggagasnya Kurniawan Junaedhi, “Dari Negeri Poci” adalah sebuah
serial buku antologi puisi yang mencoba merekam jejak kepenyairan para penyair
Indonesia dari tahun ke tahun secara lintas generasi, lintas gender, dan lintas
genre (Baca: DNP 6). Terbit pertama pada tahun 1993 hingga sekarang. Hal
tersebut merupakan salah satu cara para anggota komunitas dalam menghidupi
sastra di Indonesia.
Menurut Maman S Mahayana seorang
Kritikus Sastra mengatakan bahwa, peranan komunitas, kadang kala dampaknya
tidak terduga. Jika ia hadir: “sekali tidak berarti, sesudah itu mati,” sangat
mungkin ia tenggelam begitu saja. Tetapi, jika ia dilakukan terus-menerus
dengan segala kesungguhannya, tidak mustahil gerakan itu menjadi sebuah
gelombang yang pengaruhnya tak dapat diabaikan dalam kehidupan bangsanya. Jadi,
sebuah gerakan perlu dilakukan secara berkelanjutan, kontinu, dengan wilayah
dan cakupannya yang makin meluas. Juga, di sana ada kesungguhan sikap dan
idealisme dari diri mereka yang terlibat di dalamnya, ada semangat memberikan
kontribusi, ada elan yang ingin diperjuangkan.
Kekuatan komunitas sastra di
pesantren juga rupanya sangat mempengaruhi geliat sastra Indonesia. Karena
sebagain besar penulis yang mempuanyai latar belakang santri membawa
nilai-nilai kesantriannya. Hal demikian merupakan misi kesusastraan sebagai
media pengajaran dan media penyampaian dakwah yang paling lembut dan bijaksana.
Dengan adanya komunitas maka akan menjadi wadah bagi santri-santri yang mempunyai
kesenangan terhadap sastra juga dalam upayanya membangkitkan geliat sastra
pesantren.
Di pesantren An Najah Purwokerto
kabupaten Banyumas merupakan pesantren yang sudah memilih dirinya sebagai
Pesantren Kepenulisan. Di dalamnya terdapat sebuah komunitas sastra yang
didirikan oleh santri An Najah sendiri yaitu Dimas Indiana Senja, pada tahun
2011. Gagasannya sangat didukung oleh pengasuh Pesantren yaitu Dr. KH. Moh.
Roqib,M.Ag. Karena sangat mendukung tercapainya salah satu misi pesantren yang
berorientasi kepada kepenulisan. Sekarang nama Dimas Indiana Senja sudah tak
asing lagi dalam dunia kesusasastraan Indonesia. Dengan tuliasannya dia
dikenal, dengan tulisannya dia ikut berkontribusi dalam khasanah kesusatraan
Indonesia. Dari rahim Pondok Pena juga mencuat nama Aulia Nur Inayah dengan
buku puisi tunggalnya yang bernafaskan religi “Seribu Doa di
Pelabuhan Waktu”, lalu Irna Novia Damayanti ikut meramaikan sastra di
berbagai media massa. Bahkan Irna mendapat pengahargaan sebagai Penulis
Mahasiswa Media Teraktif di Indonesia versi Apresiasi Pendidikan Islam tahun
2015 oleh Kementerian Agama Indonesia.
Dimas dalam sebuah acara Sarasehan Sastra di Banyumas mengatakan
bahwa dirinya tidak mau pesantren terkalahlahkan oleh komunitas-komunitas
sastra berbasis kampus maupun komunitas di luar kampus. Menurutnya
sasatrawan-sastrawan muda yang terlahir dari Pondok Pena tidak hanya menyumbang
nama di koran-koran (rubrik sastra) lebih dari itu Pondok Pena sudah terbiasa
mengikuti pertemuan sastrawan lintas daerah, bahkan lintas Negara[vii]
(baca: Lentera Sastra Jilid 2). Inilah salah satu upaya yang dilakukan oleh
Dimas Indiana Senja dalam menghidupi sastra yaitu dengan menularkan virus
sastra kepada Pondok Pena, dan santri-santri yang lain agar tergerak hatinya
untuk senang menulis.
Komunitas sastra di pesantren memang
jumlahnya tidak terlalu banyak. Sanggar-sanggar yang terdapat di pondok
pesantren, antara lain, Sanggar Sastra Andalas Pondok Pesantren Anuqayyah
Guluk-Guluk, Sumenep yang diprakarsai oleh Ahmad Faizi el-Kaelan; Komunitas
Sanggar Sastra dan Teater Kertas, Pondok Pesantren Darul Ulum, Banyuanyar,
Pamekasan, Madura yang diprakarsai oleh pengurus pondok pesantren; kegiatan penulisan
karya kreatif yang diawali oleh ustad Dwi Sa’doellah dari Pondok Pesantren Sidogiri,
Pasuruan; Forum Kajian Jurnalistik dan Sastra (FKJS) di Pondok Pesantren Langitan,
Tuban yang diprakarsai oleh Mas Cantrek (Muhammad Hasyim); Putra Sanggar Sastra
diprakarsai oleh Zainul Walid, dan Sanggar Sastra Al-Amien (SSA) di Pondok
Pesantren Al-Amien Prenduan, Sumenep yang dipimpin oleh ustad Hamzah.
Jadi dengan adanya pembentukan
komunitas di Pesantren merupakan upaya yang cukup efektif dalam membangkitkan
sastra pesantren. Namun syaratnya ialah ia harus istiqamah. Karena jantung
komunitas itu sendiri ada pada anggota-anggotanya. Maka keseriusan dan
keistiqamahan para anggota dalam menulis dan membaca harus selalu ditingkatkan
dan dipertahankan agar ruh dalam komunitas ada dan tetap menggeliat. Saling
memotivasi dan saling koreksi sangat perlu untuk memperkuat semangat dan juga
kualitas tulisan agar semakin baik. Membangun kesadaran dalam bersastra sangat
perlu, karena semangat seseorang itu fluktuatif, maka kesadaran akan hal
tersebut agar terus ditingkatkan, juga dalam melatih kepekaan diri. Teruslah membaca
dan menulis. Dr. KH. Moh. Roqib, M.Ag pernah menyampaikan bahwa “tidak ada
alasan seseorang untuk tidak menulis”, kesimpulannya menulis merupakan
kewajiban bagi setiap orang. Diperkuat oleh firman Allah SWT dalam QS. Al Iqra.
Purwokerto, 2016
(Dimuat dalam buku antologi esai "Revitalisasi Sastra Pesantren", (An Najah Press: 2016)
Daftar Pustaka
Abdullah,
Muhammad. Dekontruksi Sastra Pesantren, Filologi, Gender, Filsafat dan
Teologi Islam. Semarang: Fasindo
Press. 2006.
Kurniawan, Heru. Pemikiran
Sastra sebagai Media dalam Menanamkan Budi Pekerti Siswa.
Jurnal
Pemikiran Kependidikan INSANIA. 2005.
Koran Republika: Matroni
Muserang, Reaktualisasi Puisi. 2015.
Machsum, T, Kepengayoman Terhadap
Sastra Pesantren di Jawa / The Nurture of Pesantren Literature in East Java. METASASTRA: Jurnal Penelitian
Sastra. 2016.
Pratiwi, Afrilia dkk. Mushaf
Rindu. Yogyakarta: Pustaka Senja. 2013.
Teeuw,
A. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya. 1988.
Wibisana,
A Nabil dkk. 175 Penyair dari Negeri Poci, Negeri Laut. Jakarta: Kosa
Kata Kita. 2015.
Iis Sugiarti, kelahiran Kebumen, 08 Februari 1995. Beralamat di desa Argopeni, RT 02/ RW 04, kec. Ayah, kab.
Kebumen. Terlahir dari pasangan Sumarno Andriyanto dan
Suharti. Tengah menempuh pendidikan di Program Pascasarjana (IAIN) Purwokerto, dan di Pesantren Mahasiswa An Najah Purwokerto. Tergabung di Organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat
Walisongo Purwokerto, Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) PAI (2014/2015),
Senat Mahasiswa (SEMA) Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK) (2016/2017), aktif
di Komunitas Sastra Santri Pondok Pena An Najah, Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban (SKSP) sekaligus
juga sebagai Pimpinan Redaksi Buletin BENER FKUB Banyumas dan Buletin Taman
Lestari, inisiator Buletin JISDA (Jiwa Semangat
Pemuda) untuk Jamiah Islam Syekh Daud Al Fathoni Yala Thailand (2016). Sempat mengeditori buku antologi puisi Kidung Patani (2016)
dan antologi cerpen Sundul Langit (Pesma An Najah Press:
2018). Karya puisinya telah termaktub
di Senandung Cinta Untuk Ibunda (Asrifa Publisher: 2014), Radar
Lupus (Asrifa Publisher: 2014), 100 Makna Kasih Sayang Ayah
Ibunda (Gerbang Sastra: 2014), Bisikan Kata Teriakan Jiwa (Meta
Kata: 2014), Senarai Diksi (Pena House: 2014), Cerita
Mei (Goresan Pena: 2014), Pelangi Syair Sang Penyair (Fornusa
Indonesia: 2014), Puisi Menolak Korupsi Jilid 5 (Forum
Sastra Surakarta: 2015), Memo untuk Wakil Rakyat (Forum Sastra
Surakarta: 2015), Dari Negeri Poci 6: Negeri
Laut (Kosa Kata Kita: 2015), Balada
Badut-Badut dan Rumput (Oase Pustaka: 2015), Memo Anti
Terorisme (Forum Sastra Surakarta: 2016), Creative Writing (Kaldera:2016),
Satelit Post (2015), Koran Madura (2016), Pilar
Puisi 3 (SKSP: 2016), Dari Negeri Poci 7: Negeri Awan (Kosa
Kata Kita: 2017), Seberkas Cinta (2017), Kidung
Patani (2017), Kampus Hijau 3 (SKSP: 2017), Puisi
Menolak Korupsi Jilid 6 (Forum Sastra Surakarta: 2017), Negeri Bahari
(Dari Negeri Poci 8: Kosa Kata Kita, 2018), A Skyful of Rain
(Banjabaru’s Day Literary Festival: 2018), When The Days Were Raining (Banjarbaru’s
Rainy Day Leterary Festival: 2019), Palung Tradisi (Penyair
Perempuan Indonesia: 2019), Semarang Literary Triennale III (2020) dan karya
cerpennya termaktub di Mawar yang Tertanam di Pelaminan Air Mata (Oase
Pustaka: 2015), dan “Isyarat” (CV: Landasan Ilmu:
2016), Serta Esainya termaktub di “Revitalisasi Sastra Pesantren” (An
Najah Press: 2016), Mengintip Makna dari Celah Pagar
Kenabian (kabarbangsa.com: 2017). Namanya masuk dalam daftar
buku Apa dan Siapa Penyair Indonesia (HPI: 2019) dan profilnya
pernah dibahas di kolom Kiye Lakone Koran Harian Suara Merdeka
(2018). Beberapa kali mengikuti pertemuan Penyair Nusantara, Pernah mengajar
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Melayu (PBSM) di Jamiah Islam Syekh Daud
Al Fathoni Kota Yala Thailand Selatan dalam program Student Exchange for Practice
Teaching selama satu semester (2016), dan pernah diundang untuk
membaca puisi di Konsulat Republik Indonesia (KRI) Songkhla Thailand (2016).
Dapat dihubungi via, Hp:085725962374, Fb: Iis Sugiarti, Instagram: iiz_oanes, Email:iissugiarty777@gmail.com.
0 Komentar