NAMUN
AKU BAHAGIA
oleh:
Mustoifah
Pagi ini terasa berbeda. Awan
hitam pekat mengitari perkampungan sempit dan kumuh di pinggiran ibukota. Hujan
deras yang sangat membisingkan telinga seketika membanjiri jalanan disekitar. Irama
katak saling bersahut-sahutan seolah menunjukkan inilah saat-saat bahagia
mereka. Hawa dingin menyelimuti seluruh ruang-ruang bangunan yang aku huni. Rumah
sederhana dari kayu, bekas peninggalan kakek. Sangat beruntung gubuk kecil ini
tak terendam air.
Aku duduk bersandar di kursi
tua di kamarku. Menyaksikan antara hujan yang bergemuruh, dan petir yang
menyambar. Angin berhembus kencang menusuk ke tulang. Pandanganku samar-samar karena terhalang oleh
jendela yang berembun akibat cipratan air hujan. Tercium aroma sedap masakan
dari arah tetangga. Suasana yang pas untuk duduk santai bersama keluarga sambil
menyantap hidangan hangat. Sayang, tak bisa aku rasakan lagi suasana nan indah
itu.
Lamunan tertuju pada
seseorang bertubuh langsing, tinggi semampai, kulit putih, dan rambut hitam
bergelombang. Syifa namanya. Nama pemberian ayahku sewaktu dia masih kecil.
Bocah malang yang ditinggal orang tuanya. Ayahku menemukannya ketika dia baru
berusia sekitar dua bulan.
Dalam ranjang kecil, dengan
balutan bedong ditubuhnya, dia menangis dengan sangat kencang memecah
kaheningan hingga ayah langsung keluar rumah. Bocah berbaju merah bunga-bunga
tergeletak bersama keranjangnya diteras rumah. Aku kaget melihatnya. Entah
siapa yang menapaki teras rumahku dan meletakkan bayi tak berdosa ini.
Aku saat itu baru menginjak
usia lima belas tahun. Ayahku hanya bekerja serabutan. Ketika musim paceklik
melanda wilayah kami, tanah gersang, sayur mayur layu, padi gagal panen, aku
pun terpaksa putus sekolah karena ayah tak mampu membiayaiku. Jasa mencuci
pakaian menjadi pilihanku. Buruh cuci memang bayarannya tidak seberapa. Untuk
tiga kali makan pun kadang tidak cukup. Pekerjaan ini sangat menguras waktu dan
tenaga. Tiap hari harus pergi dari rumah ke rumah untuk menawarkan jasa mencuci
pakaian. Tak sedikit yang menolak dan bahkan mengusirnya.
Hari berganti hari, bulan
berganti bulan, tetap tak ada yang tahu siapa orang tua Syifa. Mungkin memang
dia ditakdirkan untuk hidup bersamaku. Aku yang biasanya hanya berkutat pada
pakaian lusuh dan kotor milik tetangga, sekarang punya mainan baru. Dengan
tidak meninggalkan pekerjaan sebagai buruh cuci, tiap hari aku menggendong
Syifa kemana-mana, menyuapi makan, dan memberinya mainan dari botol bekas.
Memang keadaan keluarga yang tidak memungkinkan untuk membelikannya makanan
enak dengan penuh gizi serta mainan yang bagus dan mahal. Hati serasa
teriris-iris, trenyuh, aku tak bisa memberinya apapun. Mendengar tangis
nakalnya, aku sangat bahagia. “Secercah cahaya kesuksesan akan Allah beri
untukmu de,” kataku dalam hati.
Dia semakain besar, dan mulai
bisa berbicara “mama...papa”. sungguh berbunga-bunga sukmaku mendengar celoteh
lucu itu. Namun jauh di kalbuku, kesedihan menyelimuti. Bocah tak berdosa,
bocah lucu yang disia-siakan orang tuanya. Seharusnya kebahagiaan yang aku
rasakan ini menjadi milik orang tuanya, karena anaknya sudah bisa memanggil mereka.
Hampir tiap hari aku meneteskan air mata haru saat ingat kisah itu.
Hari terus berlanjut, pertumbuhannya
semakin pesat, dia bisa berjalan, bicaranya pun sudah lancar, dan bisa bermain
sendiri. Syifa benar-benar menjadi teman hari-hariku setelah kepergian ayah
tepat di satu tahun usia Syifa. Diantara serpihan-serpihan duka yang aku alami,
terdapat amanah besar yang harus aku jalani, merawat dan membesarkan Syifa.
Entah dengan cara bagaimana aku menghidupi keluarga kecil ini, Tuhan pasti akan
selalu memberkati dan mendengar setiap doa yang ku lantunkan pada-Nya.
****
Perjuangan untuk mengantarkan
Syifa menjemput kesuksesan telah ku buktikan diakhir bulan september ini. Syifa
telah menyelesaikan studi S1 Psikologi di Universitas Gajah Mada program
bidikmisi. Sejak ia duduk di bangku Sekolah Dasar pun ia selalu mendapat
ranking satu hingga akhir kelas tiga Sekolah Menengah Atas. Kini Syifa berusia
24 tahun. Tak sadar ternyata dia telah dewasa. “Aku bertanggung jawab atas
kebahagiaan Syifa,” aku berkata dalam hati.
Setelah gelar sarjananya
diraih oleh Syifa. Sekarang ia bekerja di salah satu rumah sakit besar tak jauh
dari rumah kami.
Satu perkara yang menjadi
fitrah manusia ketika sudah dewasa yaitu menikah. Bukan aku yang akan menikah,
melainkan Syifa. Malam itu, seorang laki-laki dewasa berbicara denganku lewat
telepon. Laki-laki itu Hasan. Dia mengatakan hal serius yang ada dalam lubuk
hatinya yang paling dalam. Hasan pemuda desa sebelah yang dikenal arif
bijaksana, penyabar dan berpendidikan
itu rupanya hendak meminang Syifa. Hasan dan Syifa memang sudah lama
dekat, tapi tak pernah aku gubris, karena ku pikir hanya sekadar teman biasa. Beda
usia mereka empat tahun.
Diposisi seperti ini aku sangat
terpojok. Karena sebagai orang yang dituakan, aku harus bisa mengambil
keputusan atas kebahagiaan Syifa. Kebimbangan ini menyelimuti hati dan
pikiranku. Disatu sisi aku belum menikah, bahkan belum ada satupun laki-laki
yang mendekatiku. Mungkin terlalu susah untuk mendapat pasangan karena usiaku
yang sudah tidak muda lagi. Setahun lagi aku menginjak kepala empat.
Sama halnya seperti wanita
normal lainnya, aku pun ingin menikah. Membangun rumah tangga yang penuh dengan
kebahagiaan. Melaksanakan tugas sebagai seorang istri, mendidik anak, memasak dan
melayani suami. Bukankah menikah sama halnya telah melaksanakan separuh dari
ibadah kepada Allah. Tidak pantaskah aku mendapat pasangan dalam rangka
beribadah kepada-Nya. Air mata ini tak terbendung lagi. Dosa apa yang telah aku
lakukan, hingga Sang Khalik tidak berkenan mempertemukan aku dengan jodohku.
Apakah aku sanggup menerima
kenyataan bahwa Syifa akan melangkahiku. Terlebih aku harus mengikhlaskan Syifa
untuk mengikuti suaminya. Kenyataan yang pahit bagiku jika harus hidup
menyendiri lagi tanpa sanak saudara. Di samping itu, aku tidak punya apapun
untuk biaya pernikahan jika pinangan itu diterima. Tapi disisi lain Syifa
berhak mendapatkan kebahagiaan. Dia tidak boleh mengalami nasib sama sepertiku.
Pikiran berputar-putar, berkeliling mencari jawaban yang terbaik atas
pertanyaan Hasan. Dalam dialog bersama Hasan aku hanya meninggalkan pesan
padanya untuk menunggu jawabanku seminggu kemudian.
Hari ini tepat seminggu
setelah percakapan lewat telepon dengan Hasan. Tapi sampai detik ini pun aku
belum menemukan jawaban yang tepat. Dalam hati berbisik “Aku tidak ingin hidup
sendiri.” Hujan pagi ini membawa perasaanku semakin hanyut dalam perasaan
bimbang.
“Kak, kakak dimana?.
Kak......,” terdengar panggilan Syifa memecah lamunanku. Aku yang sedari tari
duduk, sekarang berpindah posisi berdiri.
“Kakak disini dek, di kamar,”
jawabku.
“Uuh kaka, Syifa cariin juga.
Lagi ngapain?,” Syifa mengendus, lalu membuka pintu secara perlahan.
“Engga kok sayang. Ada apa?,”
tanyaku sambil mengelap air mata yang tak sengaja keluar akibat lamunan tadi.
“Kak, Mas Hasan datang.”
“Loh, kalau dia datang terus kenapa kamu
kemari. Kan mau ketemu sama kamu,” kataku.
“Aduuh kakak. Mas Hasan bukan
mau ketemu sama Syifa, tapi sama kakak. Ayo kak, Mas Hasan sudah menunggu dari
tadi,” Syifa menarik tanganku.
“Astaga,” perasaanku semakin
tidak karuan, seperti ada yang tidak beres. Pasti ada hubungannya dengan
pertanyaan Hasan seminggu yang lalu.
Pertanyaan Hasan membuatku harus
mengalami tekanan batin. Pertanyaan sepele, namun jawabannya begitu rumit. Beribu-ribu
kali memutar pikiran untuk mencari solusi yang tepat. Seperti mencari ikan di kubangan
air keruh, sulih untuk memperolehnya. Jawaban untuk Hasan pun sulit ku dapatkan.
Konsekuensi selalu ada dalam setiap persoalan. Begitu juga dengan permasalahan
yang sedang aku hadapi. Jika aku terima pinangan Hasan, itu sama saja
membiarkan diriku tenggelam dalam kesepian dan kesendirian. Namun, jika tidak
diterima itu berarti aku telah membunuh hak Syifa untuk menikah.
Aku menemui Hasan dengan
perasaan was-was. Berharap dugaanku tidak benar adanya.
”Hasan, tumben nyariin kakak.
Ada apa?,” tanyaku amat pelan, takut salah tingkah.
“Iya Kak, kedatangan saya
kemari yang pertama saya ingin silaturahim. Yang kedua, saya ingin menanyakan
jawaban kakak atas pertanyaan seminggu yang lalu. Tentunya kakak masih ingat.” Ucap
Hasan menunjukkan maksud kunjungannya.
Aku semakin bingung. Mulut
ini seakan terkunci. Tubuhku bergetar, panas dingin menusuk kalbu. Apa yang
harus ku katakan, antara iya atau tidak. Aku bimbang, pikiranku kacau.
Lagi-lagi menemui jalan buntu untuk mendapatkan jawaban itu.
“Maaf nak Hasan, maaf
sebelumnya. Syifa ini dari keluarga tidak punya. Orang tuanya tidak ada, hanya
saya saudara satu-satunya. Apa kiranya nak Hasan dan keluarga bisa menerima
keluarga kami.” Tanyaku dengan tenang mencoba menepis rasa gugup.
“ Iya Kak, insya Allah
keluarga tidak mempermasalahkan hal itu. Yang terpenting bagi mereka adalah
kebahagiaanku. Apapun pilihanku mereka setuju.” Jawab Hasan dengan tegas namun
santun. “Tak ada orang tua yang tak menginginkan anaknya bahagia dengan orang
yang menjadi pilihan hidupnya. Harta dan
tahta bukanlah sumber kebahagiaan utama. Akan tetapi yang terpenting adalah
rasa nyaman.”
Mendengar jawaban itu aku
sedikit mendapat pencerahan. Mungkin Hasanlah orang yang tepat. Sikapnya yang lembut,
kata-katanya tersusun rapi dan menyejukkan setiap pendengarnya, serta aura
wibawa yang selalu menempel dalam tubunya, itulah nilai lebih yang aku tahu
selama mengenalnya.
Syifa bukan lagi gadis kecil,
dia telah dewasa dan berpendidikan. Dia sangat paham mana yang terbaik untuk
dirinya. Karena kebahagiaan adalah harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar.
Salah pilihan bisa jadi malapeteka baginya.
Mungkin alangkah baiknya aku
menerima pinangan itu. Toh dari dulu Syifa tak pernah meminta sesuatu yang
berlebihan. Baru kali ini dia meminta padaku. Hanya restu yang dia harapkan
dariku, tak lebih. Tak pantas jika aku menolak kebaikan hati hasan, dan
ketulusan cinta Hasan pada Syifa.
“Kakak merestui kalian,”
jawabku. “Tak ada yang harus aku ragukan lagi dari kemantapan hati kalian untuk
membina rumah tangga. Kakak selalu berdoa yang terbaik untuk kalian.”
Syifa pun meneteskan air mata. Mungkin dia bisa
merasakan apa yang aku rasakan. Syifa tahu resiko yang harus ia tanggung
setelah menikah. Dia harus mengikuti suami kemanapun, sehingga dia akan
meninggalkanku sendiri di gubug kecil ini.
“Tenang saja Kak, Syifa akan
selalu berkunjung kemari menemui kakak. Dari kecil Syifa diasuh oleh kakak. Syifa
selalu merepotkan kakak. Seperti tidak tahu terima kasih jika Syifa tak mau
lagi menengok kakak setelah menikah nanti.” Syifa memelukku erat-erat.
****
Waktu berjalan begitu cepat. Hari pernikahan Syifa pun tiba.
Balutan gaun anggun melakat di tubuh Syifa. Putih, elegan dan kesan seperti
seorang putri yang digandeng oleh seorang pangeran. Suasana pernikahan yang
bernuansa kekeluargaan, ramai tapi tak meninggalkan kekhidmatan acara tersebut.
Hati ini lega, bahagia bercampur haru. Aku telah mengantarkan Syifa
sampai di hari pernikahannya. Sekarang, Kembalilah aku seperti dahulu kala
sebelum hadirnya Syifa di tengah-tengah keluarga kami. Namun aku bahagia.
( Termaktub dalam Buku Antologi Cerpen "Misteri Jodoh", terbitan L-Kis: 2014)

0 Komentar